Selasa, 13 Agustus 2013
Beauveria bassiana
CENDAWAN Beauveria bassiana Vuill. SEBAGAI
ENTOMOPAOGEN
Surtikanti
Balai Penelitian Tanaman Serealia
Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga
hama tanaman dinamakan entomopatogen. B.
Bassiana adalah cendawan entomopatogen yang mempunyai potensi mengendalikan
serangga tanaman. Menurut Mangoendiharjo (2001), B.bassiana tergolong polipag dapat menginfeksi spesies hama dari
ordo yang berbeda seperti wereng coklat, walang sangit, penggerek batang.
Gejala larva yang sakit terinfeksi ditandai dengan adanya penurunan selera
makan, gerakan tidak terarah, cenderung lamban. Bila diamati dibawah mikroskop
akan terlihat bintik hitam pada kutikula yang merupakan terjadinya penetrasi
cendawan.
Cendawan Beauveria bassiana Vuill. tergolong
dalam klas Deuteromycetes (fungi : Imperfekti), ordo Moniliales, famili
Moniliaceae. Pertumbuhan dalam media berbentuk koloni berwarna putih seperti
kapas. Konidiofor yang fertil bercabang-cabang secara zigzag, dan pada bagian
ujungnya terbentuk spora (konidia). Konidia bersel satu, berbentuk bulat sampai
oval berukuran 2 – 3 mikron. Hifanya dalam koloni berwarna putih berukuran 2 –
4 mikron (Tanada dan Kaya, 1993). Suhu
optimal untuk pertumbuhan cendawan B.
Bassiana yaitu 20-30oC dan suhu kritisnya 5oC dan 35oC.
Jika terjadi kenaikkan suhu sampai 55oC selama 10 menit, spora
cendawan B. Bassiana pada isolat LaHh
masih mampu berkecambah sampai 14,67%. Kelembaban nisbi yang diperlukan 70-100%
dan pH 3,5-8,5 optimum 6-7 (Suharto et al,
1998).
Sistem
kerjanya yaitu spora cendawan
B. bassiana masuk ketubuh serangga inang melalui
kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Selain itu inokulum cendawan yang menempel pada tubuh
serangga inang dapat berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah,
kemudian masuk menembus kutikula tubuh serangga. Penembusan dilakukan secara
mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Cendawan ini selanjutnya akan
mengeluarkan racun beauverin yang membuat kerusakan jaringan tubuh serangga.
Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Setelah itu, miselia cendawan akan tumbuh ke seluruh
bagian tubuh serangga. Serangga yang terserang cendawan B.
bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti
mumi yang tertutupi oleh benang-benang hifa
berwarna putih.
Beberapa keunggulan cendawan
patogen serangga B. bassiana sebagai pestisida hayati yaitu selektif terhadap serangga sasaran
sehingga tidak membahayakan serangga lain bukan sasaran, seperti predator,
parasitoid, serangga penyerbuk, dan serangga berguna lebah madu. Tidak
meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam tanah maupun pada
aliran air alami. Tidak
menyebabkan fitotoksin (keracunan) pada tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Mangoendiharjo,S.
2001. Peluang dan tantangan dalam produksi massal serta pemasaran agens
pengendalian hayati serangga hama, Simposium Pengendalian Hayati Serangga,
Sukamandi, 14-15 Maret 2001. Hal.9-27.
Suharto,
E.B., Trisusilowati, dan H.Purnomo. 1998. Kajian aspek fisiologik B. bassoana dan virulensinya terhadap Helicoverpa armigera. Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia, Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan , Faak.
Pertanian UGM.112 – 119.
Tanada,Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology. Academic
Press. Inc. Harcourt Brace Jovanovich, Publishers San Diego. Hal. 320 – 364.
Kamis, 25 Juli 2013
Beauveria bassiana
CENDAWAN Beauveria bassiana Vuill. SEBAGAI
ENTOMOPATOGEN
Surtikanti
Balai Penelitian Tanaman Serealia
Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga
hama tanaman dinamakan entomopatogen. B.
Bassiana adalah cendawan entomopatogen yang mempunyai potensi mengendalikan
serangga tanaman. Menurut Mangoendiharjo (2001), B.bassiana tergolong polipag dapat menginfeksi spesies hama dari
ordo yang berbeda seperti wereng coklat, walang sangit, penggerek batang.
Gejala larva yang sakit terinfeksi ditandai dengan adanya penurunan selera
makan, gerakan tidak terarah, cenderung lamban. Bila diamati dibawah mikroskop
akan terlihat bintik hitam pada kutikula yang merupakan terjadinya penetrasi
cendawan.
Cendawan Beauveria bassiana Vuill. tergolong
dalam klas Deuteromycetes (fungi : Imperfekti), ordo Moniliales, famili
Moniliaceae. Pertumbuhan dalam media berbentuk koloni berwarna putih seperti
kapas. Konidiofor yang fertil bercabang-cabang secara zigzag, dan pada bagian
ujungnya terbentuk spora (konidia). Konidia bersel satu, berbentuk bulat sampai
oval berukuran 2 – 3 mikron. Hifanya dalam koloni berwarna putih berukuran 2 –
4 mikron (Tanada dan Kaya, 1993). Suhu
optimal untuk pertumbuhan cendawan B.
Bassiana yaitu 20-30oC dan suhu kritisnya 5oC dan 35oC.
Jika terjadi kenaikkan suhu sampai 55oC selama 10 menit, spora
cendawan B. Bassiana pada isolat LaHh
masih mampu berkecambah sampai 14,67%. Kelembaban nisbi yang diperlukan 70-100%
dan pH 3,5-8,5 optimum 6-7 (Suharto et al,
1998).
Sistem
kerjanya yaitu spora cendawan
B. bassiana masuk ketubuh serangga inang melalui
kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Selain itu inokulum cendawan yang menempel pada tubuh
serangga inang dapat berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah,
kemudian masuk menembus kutikula tubuh serangga. Penembusan dilakukan secara
mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Cendawan ini selanjutnya akan
mengeluarkan racun beauverin yang membuat kerusakan jaringan tubuh serangga.
Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Setelah itu, miselia cendawan akan tumbuh ke seluruh
bagian tubuh serangga. Serangga yang terserang cendawan B.
bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti
mumi yang tertutupi oleh benang-benang hifa
berwarna putih.
Beberapa keunggulan cendawan
patogen serangga B. bassiana sebagai pestisida hayati yaitu selektif terhadap serangga sasaran
sehingga tidak membahayakan serangga lain bukan sasaran, seperti predator,
parasitoid, serangga penyerbuk, dan serangga berguna lebah madu. Tidak
meninggalkan residu beracun pada hasil pertanian, dalam tanah maupun pada
aliran air alami. Tidak
menyebabkan fitotoksin (keracunan) pada tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Mangoendiharjo,S.
2001. Peluang dan tantangan dalam produksi massal serta pemasaran agens
pengendalian hayati serangga hama, Simposium Pengendalian Hayati Serangga,
Sukamandi, 14-15 Maret 2001. Hal.9-27.
Suharto,
E.B., Trisusilowati, dan H.Purnomo. 1998. Kajian aspek fisiologik B. bassoana dan virulensinya terhadap Helicoverpa armigera. Jurnal
Perlindungan Tanaman Indonesia, Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan , Faak.
Pertanian UGM.112 – 119.
Tanada,Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology. Academic
Press. Inc. Harcourt Brace Jovanovich, Publishers San Diego. Hal. 320 – 364.
Selasa, 15 Januari 2013
BIOEKOLOGI BURUNG HANTU (Tyto alba) SEBAGAI PREDATOR TIKUS
Surtikanti
Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros
ABSTRAK
Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros
ABSTRAK
Tulisan
ini mencoba memaparkan peranan burung hantu dalam ekosistem pertanian,
biologi dan ekologi dimana burung hantu berkembang dan bermukIm,
ciri-ciri fisiknya dialam pola perkembangbiakannya serta tingkah laku
dalam hubungannya dengan mangsa baik itu mangsa utama (tikus) atau
mangsa non utama yakni semua jenis serangga dan verterbrata tinggi
lainnya. Tulisan ini diharapkan dapat memberi informasi keilmuan yang
berguna bagi peneliti untuk melihat lebih detail dan melakukan
penelitian yang lebih jauh tentang peranannya dalam dunia pertanian dan
kepentingan petani khususnya dalam pengendalian musuh yang paling
merugikan petani yakni hama tanaman khususnya hama tikus sawah.
Kata Kunci : Bioekologi, burung hantu (Tyto alba), predator
Minggu, 06 Januari 2013
HAMA PENYAKIT UTAMA JAGUNG DAN PENGENDALIANNYA SECARA BIOLOGIS
HAMA PENYAKIT UTAMA JAGUNG DAN PENGENDALIANNYA
SECARA BIOLOGIS
Surtikanti
Balai Penelitian Tanaman Serealia
Jln. DR. Ratulangi 274 Maros, 90514
Rendahnya hasil jagung disebabkan oleh banyak factor,
diantaranya faktor abiotis (iklim, jenis tanah dan lahan) dan faktor biotis
(varietas, hama, penyakit dan gulma), serta faktor sosial ekonomi.
Hama dan
penyakit merupakan kendala dalam peningkatan produksi jagung. Hama utama
pada tanaman jagunga adalah hama penggerek batang Ostrinia furnacalis Gueene dan
penggerek tongkol Helicoverpa armigera Hubn.
Penggerek batang O.
furnacalis hadir di pertanaman pada umur
tanaman antara 15 – 42 hari setelah tanam. Telur diletakkan ngengat betina pada
tulang daun bagian bawah dari tiga daun teratas.Seekor ngengat betina mampu
bertelur 300-500 butir dalam bentuk berkelompok, satu kelompok bervariasi
jumlahnya.Setelah 6-9 hari baru menetas, ulat-ulat yang baru menetas disebut
larva instar I masih bergerombol, kemudian berpencaran menyebar menuju bunga
jantan, dan ada pula yang langsung menggerek
tulang daun yang telah terbuka.Larva-larva instarII dan III menuju batang dan
akan menggerek batang membentuk lorong
menuju ke atas, setelah menuju bagian atas, larva akan turun kebuku bagian
bawah untuk berubah menjadi pupa di dalam batang. Hal inilah yang dapat
menyebabkan batang tanaman patah, kemudian mati karena translokasi hara dari
akar ke daun terhambat. Siklus hidup dari penggerek batang berkisar 22-45 hari
(Kalshoven,1981).Kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang dapat mencapai 80%
(Yasin,2008).
Pengendalian
penggerek batang dapat dilakukan dengan cara pelepasan parasitoid Trichogramma spp. Hasil survey diketahui
bahwa tingkat parasitasi Trichogramma spp.dapat
mencapai 81% di Takalar pada varietas Bisma (Nurnina,2003).
Penggerek
tongkol Helicoverpa armigera mulai
muncul di pertanaman pada fase generatif
43-70 hari setelah tanam. Ngengat H.
armigera aktif pada malam hari,ngengat betina meletakkan telurnya secara
tunggal pada umur tanaman 45-56 hari setelah tanam bersamaan dengan munculnya
rambut tongkol, dan mampu bertelur 600-1000 butir. Telur baru menetas setelah 4-7
hari.Larva ini selain menyerang tongkol juga menyerang pucuk dan menyerang
malai sehingga bunga jantan tidak terbentuk yang mengakibatkan hasil biji
berkurang. Stadia pupa ada di dalam tongkol, siklus hidupnya berkisar 36-45
hari (Kalshoven,1981). Kehilangan hasil yang disebabkan serangan H. armigera dapat mencapai 10%
(Yasin,2008).
Pengendalian
penggerek tongkol dapat dilakukan dengan cara pelepasan parasitoid Trichogramma spp.Hasil uji coba di
laboratorium didapatkan bahwa T.
evanescens dapat memarasit telur penggerek tongkol sebesar 92,3% (Pabbage et al.,2001).Untuk di lapang belum ada
data.
Penyakit
bulai merupakan penyakit utama tanaman jagung yang disebabkan oleh cendawan Peronosclerospora sp.Cendawan ini aktif menginfeksi pada suhu udara
27oC keatas dengan Rh yang tinggi.Gejala yang ditimbulkan
adalah (1) pada tanaman yang berumur 2-3 minggu, daun kecil dan runcing, kaku ,
pertumbuhan batang terhambat, warna daun kekuningan, sisi bawah daun terdapat
lapisan spora cendawan berwarna putih; (2) pada tanaman berumur 3-5 minggu,
tanaman yang terserang mengalami gangguan pertumbuhan, daun terlihat
berklorotik, dimulai dari bagian pangkal daun, tongkol berubah bentuk;(3) pada
tanaman dewasa terdapat garis-garis kecoklatan pada daun tua (Agrios,1997;Lucas,1998).
Konidium yang masih muda berbentuk bulat, dan yang sudah masak
dapat menjadi jorong, dengan ukuran 12 – 19 x 10 – 23 µm dengan rata-rata 19,2
x 17,0 µm untuk P. maydis sedangkan untuk P. philippinensis ukuran konidiofornya 260 – 580 µm, konidiumnya
berukuran 14 – 55 x 8 – 20 µm dengan rata-rata 33,0 x 13,3 µm. Adanya benang-benang cendawan dalam ruang
antarselnya maka daun-daun tampak kaku, agak menutup, dan lebih tegak
(Semangun, 2004).
Siklus hidup, cendawan ini tidak
dapat bertahan hidup secara saprofitik, tidak terdapat tanda-tanda bahwa
cendawan bertahan dalam tanah.Pertanaman dibekas pertanaman yang terserang
berat oleh bulai dapat sehat sama sekali. Oleh karena itu cendawan terus
bertahan dari musim ke musim pada tanaman hidup (Semangun, 2004). Kehilangan
hasil akibat serangan bulai pada tanaman jagung dapat mencapai 30%, bahkan
dapat mencapai kerusakan tanaman 100% (Yasin,2008).
Pengendalian
secara biologis belum diketahui.Komponen
pengendalian penyakit bulai pada jagung ada lima yaitu( 1) perlakuan fungisida
metalaksil pada benih jagung; (2)menanam varietas jagung tahan penyakit bulai; (3).
eradikasi tanaman jagung terserang penyakit bulai;(4 ). penanaman jagung secara
serempak dan(5). periode bebas tanaman jagung (Wakman ,Talanca dan Surtikanti ,
2008).
DAFTAR PUSTAKA
Agrios,G.N. 1997. Plant Pathology. Fourth
Edition.Academic Press.San Diego,California..
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of in Indonesia.
Resived and translated by P.A. van der Laan, University of Amsterdam. PT
Ichtiar Baru, van Hoeve, Jakarta. 701 hal.
Lucas,J.A. 1998. Plant Pathology and
Pathogens. 3rd Edition. Blackwell Science.
Nurnina,N. 2003. Tingkat parasitasi Trichogramma evanescens terhadap telur
penggerek batang jagung. Berita Puslitbangtan No.27,Oktober 2003. Hal.5-6.
Pabbage,MS., N.Nonci dan D.Baco. 2001.
Daya parasitasi beberapa jenis Trichogrammatidae terhadap telur penggerek
tongkol jagung Helicoverpa armigera.
Berita Puslitbangtan no.22.,
Semangun,H. 2004. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah
Mada University Press. 449 hal.
Wasmo,W., A.H.Talanca and
Surtikanti, 2008. Downy Mildew Disease Outbreak
in West Kalimantan Province ,
Indonesia in 2007. 4 pp.
Yasin,M. 2008. Major Pest and Disease.
Technology Innovation Supporting Maize Production. Indonesian Center for Food
Crops Research and Development, Indonesian Cereals Research Institute.pp.17-18.
Langganan:
Postingan (Atom)